Kamis, 22 Januari 2015

Pengembangan Keterampilan Sosial Pada Anak Usia Dini



 Oleh Elly Agustina, S.Sos.I

A.  Latar Belakang
Acapkali orang tua, guru atau orang dewasa menuntut anak untuk mampu bersosialisasi, berinteraksi dengan lingkungannya tanpa didahului dengan contoh atau pengalaman sosial yang baik dan benar dari lingkungannya.
Anak yang berada dalam rentang usia 0-6 tahun berada dalam fase golden age. Berbagai potensi anak berkembang pada masa tersebut, baik secara kognitif, emosional, spiritual maupun sosial. Sayangnya banyak pihak yang kerap lalai memanfaatkan periode tersebut sebagai moment penting yang perlu disikapi dengan sistematis, tepat dan cerdas.
Kehadiran lembaga pendidikan bagi anak usia dini sesungguhnya selain diharapkan mampu memberikan alternatif pengasuhan bagi anak selain rumah dan masyarakat juga diharapkan mampu secara optimal membantu merangsang perkembangan anak di usia rentan tersebut.

B.  Landasan Teori Keterampilan Sosial
Ketrampilan sosial adalah keterampilan atau strategi yang digunakan untuk memulai ataupun mempertahankan suatu hubungan yang positif dalam interaksi sosial, yang diperoleh melalui proses belajar dan bertujuan untuk mendapatkan hadiah atau penguat dalam hubungan interpersonal yang dilakukan.
Teori-teori yang mengambarkan tentang keterampilan sosial antara lain adalah teori behaviour, teori Erikson dan  teori Kognitif Sosial.[2]
1.    Teori Behaviour
Teori ini berakar dari filsafat Jhon Locke yang berpendapat bahwa anak ibarat kertas putih yang siap diisi atau ditulis oleh orang dewasa. Teori berpendapat lingkungan mempunyai pengaruh yang dominan dalam pembentukan keterampilan sosial anak.
2.    Teori Erikson
Erik Erikson (1963) mengusung sebuah teori berdasarkan teori psikoanalisa yang fokus pada ego dan apa makna perkembangannya. Erikson percaya bahwa masing-masing tahapan dalam kehidupan manusia mempunyai karaketristik tersendiri. Menurut Erikson bawaan memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam pembentukan sosial.
3.    Teori Kognitif Sosial
Salah satu konsep utama Bandura dalam teori kognitif sosial adalah determinisme resiprokal yang menyatakan bahwa ada interaksi konstan antara lingkungan, prilaku dan orang. Menurutnya prilaku mempengaruhi lingkungan sebagaimana lingkungan mempengaruhi prilaku selain itu juga orang mempengaruhi prilaku dan lingkungan.[3]
Dalam pengembangan keterampilan sosial, teori kognitif sosial agaknya lebih mengakomodir………
Menurut Moeslichatoen ada 4 kelompok pengembangan keterampilan sosial yang dipelajari anak di taman kanak-kanak yakni keterampilan dalam kaitan membina hubungan dengan orang dewasa, membina hubungan dengan kelompok dan membina diri sebagai individu.
Proses sosialisasi menurut Moeslicahtoen adalah mengenal tingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat dan diharapkan dilakukan anak, serta belajar mengendalikan diri. Hasil yang diperoleh dari proses sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang mempunyai kedudukan yang strategis bagi anak untuk dapat membina hubungan antar pribadi dalam berbagai lingkungan dan kelompok orang.
Kemampuan bersosialisasi anak didasarkan pada usia perkembangan anak, kebanyakan anak usia 3-4 tahun mulai bersosialisai dengan teman sepermainannya, tapi ada juga yang lebih senang bermain sendiri, anak usia 5 tahun biasanya sudah memiliki teman bermain sedangkan pada anak usia 6 atau 7 tahun sudah bisa bermain peran, bernegoisasi, bekerjasama dan mulai membentuk kelompok teman sepermainan.

C.  Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
Ada 3 faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak menurut Seefeldt, yaitu keluarga, peran kebudayaan dan peran sekolah.[4]
Sedangkan Hurlock menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial anak yaitu:[5]
1.    Pengaruh keluarga. Dalam keluarga masalah hubungan antar anggota keluarga, posisi anak, ukuran keluarga baik besar atau kecil, harapan orang tua dan cara mendidik mempunyai peran penting dalam pembentukan perkembangan sosial anak
2.    Pengaruh dari luar rumah. Hubungan anak dengan saudaranya atau teman bermainnya dapat membentuk keterampilan sosial anak
3.    Pengaruh pengalaman sosial awal tidak hanya penting bagi kehidupan awal anak tetapi juga penting untuk kehidupannya di masa depan, karena pengalaman sosial awal akan menjadi prilaku sosial yang menetap, sikap sosial yang menetap, berpengaruh terhadap partisipasi sosial, penerimaan sosial, pola khas prilaku dan kepribadian anak di masa depan.

D. Urgensi Pembentukan Konsep Diri
Indri Savitri, M.Psi., dari Lembaga Psikologi Terapan UI mengidentifikasi keterampilan sosial apa saja yang harus dimiliki anak:[6]
1.    Kenal Diri
Ini merupakan bagian dari kecerdasan diri/intrapersonal yang diperlukan anak untuk bisa menjalin hubungan sosial yang baik dengan orang lain. Kenal diri tak hanya sebatas mengenal identitas: siapa namanya, siapa nama orangtuanya, di mana tempat tinggalnya, apakah jenis kelaminnya—lelaki atau perempuan—dan identitas lainnya, tetapi juga mencakup apa kesukaannya, harapan dan keinginannya, maupun perilaku dirinya seperti apa dalam menghadapi lingkungan. Jadi, anak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri (awareness).
2.    Kenal Emosi
Pengenalan aneka emosi seharusnya sudah lebih baik lagi di usia prasekolah. Anak yang mengenal emosinya dengan baik akan belajar mengatur dan mengendalikan emosinya sehingga bisa bersikap dan berperilaku sesuai tuntutan lingkungan
3.    Empati
Anak harus memiliki keterampilan untuk mengerti dan merasakan emosi orang lain serta mampu untuk merasakan dan membayangkan dirinya berada di posisi orang tersebut. Keterampilan sosial ini diperlukan dalam melakukan hubungan sosial untuk menumbuhkan rasa saling menghargai, menghindari dari kesalahpahaman, juga melatih kepedulian dan kepekaan sosial anak.
4.    Simpati
Keterampilan untuk mengerti perasaan dan emosi orang lain ini, biasanya dipengaruhi oleh emosi iba atau belas kasihan dan ada suatu tindakan yang ingin dilakukan. Berbeda pada orang dewasa, semisal kalau ada teman yang dimarahi bos maka teman lainnya bersimpati dengan membelanya, maka pada anak ketika ada temannya diganggu oleh teman lainnya, dia menunjukkan simpatinya dengan memberitahukan hal itu kepada gurunya. Jadi, dengan memiliki simpati, anak dapat menghayati perasaan orang lain, memiliki kepekaan sosial yang tinggi, tak bersikap semena-mena pada orang lain, memunculkan sikap pemurah. Semua nilai ini amat dibutuhkan dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain.
5.    Berbagi
Keterampilan sosial ini diperlukan anak untuk memperoleh persetujuan sosial dengan membagi apa yang jadi miliknya. Anak dituntut untuk merasakan kebersamaan dengan berbagi kepunyaannya. Keterampilan sosial ini mengajarkan pada anak untuk tidak mementingkan dirinya sendiri, bisa menghargai milik dirinya maupun orang lain, juga menimbulkan sifat pemurah.
6.    Negoisasi
Di usia ini anak masih negativistik sehingga perlu diajarkan keterampilan bernegosiasi agar ia bisa mengungkapkan pendapat dan keinginannya dengan cara yang diterima, serta membantu anak menyelesaikan masalah yang dihadapi, dan bagaimana anak bersikap dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang ada dan mungkin tak menyenangkan. Selain juga dapat menghindari timbulnya konflik. Biasanya sekitar usia 5 tahunan anak sudah percaya diri untuk melakukan negosiasi.
7.    Menolong
Keterampilan sosial ini terkait dengan keterampilan sosial lain seperti simpati dan empati. Menolong menumbuhkan kesadaran diri pada anak untuk membantu orang lain, dapat mengembangkan sikap kepedulian sosial anak sehingga anak pun bisa diterima dalam lingkungan kelompok pertemanan maupun lingkungan sosial lain yang lebih luas.
8.    Kerjasama
Di usia ini anak sudah bermain secara berkelompok dan bersama-sama. Keterampilan bekerja sama dibutuhkan untuk anak belajar saling menghargai dan menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, merasakan kebersamaan dengan lingkungan sosialnya.
9.    Bersaing
Keterampilan untuk mengungguli dan mengalahkan anak lain ini, akan membantu anak untuk mengetahui kelemahan maupun kelebihan dirinya, bersikap fleksibel dalam menghadapi tantangan, kemenangan maupun kekalahan yang akan ditemui nantinya dalam kehidupan sosial.

E.   Membentuk Keterampilan Sosial Anak dengan Pendidikan Berbasis Kebersamaan

Pendidikan yang diwarnai dengan semangat kebersamaan, akan melatih anak memperoleh berbagai kemampuan sosial yang ditujukan pula untuk mendapatkan kematangan dalam kehidupan sosialnya.
Anik mengutip pendapat prihaningsih mengartikan kematangan sosial adalah dimilikinya kemampuan perilaku sebagai kinerja yang menunjukkan kemampuan berpartisipasi dalam lingkungan anak, yang ditunjukan anak sesuai dengan usia kanak-kanak awal. Sedangkan menurut Doll dan Habibi menyebutkan kematangan sosial juga dapat diartikan sebagai hal yang berkaitan dengan kesiapan anak untuk terjun dalam kehidupan sosial dengan orang lain yang bisa diamati dalam bentuk keterampilan yang dikuasai dan dikembangkan sehingga akan membantu kematangan sosial kelak.[7]
Wujud nyata dengan adanya kematangan sosial yang dimiliki anak dapat dilihat antara lain dengan berbagai sikap atau kemampuan sosial berikut; mampu menunjukkan sikap bekerja sama dalam kelompok, berani menampilkan diri sesuai dengan minatnya, dapat menunjukan sikap berbagi, dapat besikap sesuai norma lingkungan kecil, mampu bersikap simpati dan empati yang masih sederhana, dapat bersikap ramah, tidak egois, suka meniru perilaku positif lingkungannya, serta dapat memberi kasih sayang pada orang yang dekat.
Jadi secara sederhana kematangan sosial seorang anak akan tampak pada perilakunya. Perilaku tersebut menunjukan kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam aktivitas-aktivitas yang mengarah pada kemandirian sebagaimana layaknya  orang dewasa.
            Kematangan sosial mutlak harus dimiliki setiap anak karena anak lahir sebagai manusia yang tidak bisa hidup tanpa kehadiran makhluk lain. Kematangan sosial tentu lahir by process tidak serta-merta. Karenanya pendidikan di usia dini yang diharapkan mampu memberikan pengalaman kehidupan sosial yang merekat kuat dalam ingatannya dan mempengaruhi sepanjang hayatnya.
            Pendidikan berbasis kebersamaan, hemat penulis tidak hanya perlu dalam hubungan antara guru dan anak tapi lebih dari pada itu ada beberapa aspek yang perlu mengusung semangat kebersamaan dalam hubungannya:
1.      Anak dan Anak.
Anak tentu perlu berhubungan dengan anak lain, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tunggal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semangat kebersamaan akan mengajarkan anak bagaimana cara berinteraksi dengan anak lain, bijak menyikapi perbedaan, mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dalam kegiatan harian atau permainan pun termasuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Anak juga dapat dilatih untuk peka terhadap perasaan sesamanya dan belajar bersikap baik dan benar dalam kehidupan sosialnya.
2.      Anak dan Orang tua
Orang tua sebagai pilar pertama pendidikan anak, mempunyai kewajiban untuk memberikan pengalaman yang sehat untuk anak selain mengasuh dan memenuhi kebutuhannya. Anak, terutama di masa 2-5 tahun sedang berada dalam masa egosentris, yang tentu akan menyulitkan orang tua memberikan pelajaran yang baik. Namun bila orang tua mampu memposisikan diri sebagai seorang teman yang menyenangkan dan tahu segalanya tentang anak, insya Allah orang tua tidak akan kesulitan menghadapinya. Karenanya orang tua yang setiap hari berinteraksi dengan anak lebih baik mengajak anak untuk bersama-sama melakukan hal yang baik, memberikan teladan yang baik daripada terus-terusan menjejali anak dengan ilmu atau keterampilan yang terkadang orang tua sendiri lalai melaksanakannya. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9, Allah mengingatkan kita:
·÷uø9ur šúïÏ%©!$# öqs9 (#qä.ts? ô`ÏB óOÎgÏÿù=yz Zp­ƒÍhèŒ $¸ÿ»yèÅÊ (#qèù%s{ öNÎgøŠn=tæ (#qà)­Guù=sù ©!$# (#qä9qà)uø9ur Zwöqs% #´ƒÏy  
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar. (Q.S. Ali Imron :103
­­­­
Ayat inilah yang kemudian menjadi penegas bagi kita akan gambaran kekhawatiran para orangtua terhadap “kesejahteraan” anak. Orang tua sebagai madrasah pertama dan guru sebagai sosok yang mampu memberikan contoh dan pencernahan pada anak seyogyanya mampu menanamkan rasa empati pada anak, sehingga anak tidak bersikap egois dan merasa benar sendiri. Empati merupakan sikap atau perilaku memahami suatu permasalahan dari sudut pandang atau perasaan lawan bicara. "Pola asuh empati (parental empathy) berperan penting dalam perkembangan kesehatan psikologis. Kurangnya empati dapat meningkatkan risiko gangguan kepribadian, sikap depresi, dan menyakiti diri sendiri," ujar Stephen Montana PhD, Direktur Pelayanan Klinis di Saint Luke Institute New Hampshire USA. Pada dasarnya setiap manusia dibekali sifat welas asih untuk saling membantu dan menyayangi antarsesama manusia, sesama makhluk hidup dan lingkungannya.
3.      Guru dan Anak
Sama halnya dengan kebersamaan antara anak dan orang tua, antara guru dan anak juga harus dilandasi rasa kebersamaan. Anak dan guru sama-sama mengerti tentang pentingnya kehadiran keduanya. Meskipun dalam kesehariannya interaksi antara guru dan anak cenderung terbatas, hanya beberapa jam saja. Guru dan anak harus terus memupuk rasa kebersamaan mereka sehingga ada rasa keterkaitan antara keduanya, hubungan emosional tentu akan lebih mengikat mereka dari pada sekedar hubungan formal guru dan anak, dan efeknya tentu akan sangat luar biasa dalam proses transfer ilmu di antara keduanya.
4.      Guru dan Orang tua
Orang tua sering melepas begitu saja masalah pendidikan anaknya kepada guru di sekolah, seolah merasa lepas sudah tanggung jawab mendidik dan mengantar anak menjadi orang baik dan menyerahkannya kepada guru di sekolah. Praktek yang salah kaprah ini tentu harus dibenahi, orang tua harus disadarkan tentang fungsi sekolah dan pendidik serta kewajiban yang harus dipenuhi orang tua selain member sandang, pangan dan papan bagi anaknya. Bila kesadaran tersebut muncul akan lebih mudah memahamkan pentingnya membangun rasa kebersamaan di antara guru dan orang tua dalam mengupayakan pendidikan terbaik untuk anaknya. Orang tua dan guru bisa berbagi mengenai perkembangan anak, masalah-masalah yang dihadapi anak dan lain sebainya, sekali lagi hal ini bertujuan untuk membantu anak menjadi pribadi yang sesuai dengan harapan orang tua dan guru.
5.      Guru, Orang tua dan Masyarakat
Yang tak kalah penting adalah hubungan antara guru, orang tua dan masyarakat. Untuk menciptakan lingkungan belajara yang kondusif untuk anak maka ketiganya harus bekerjasama mewujudkan hal tersebut. Menjauhi anak dari pengaruh lingkungan yang buruk, menjamin keamanan dan kenyamanan dan memberikan ligkungan yang kaya pengalaman akan sangat bermanfaat untuk perkembangan anak. Dalam hal ini sekolah sendiri adalah lembaga sosial yang bertujuan untuk mempersiapkan individu agar menjadi warga Negara yang tercerahkan, mampu menjalankan peran positif di tengah-tengah masyarakat. seorang anak diharapkan mampu memiliki berbagai pengalaman dan keterampilan dan kemampuan lain agar mampu menghadapi perubahan dan perkembangan dunia yang semakin cepat. An-Nahlawi menjelaskan pendidikan dapat dilakukan dengan kerjasama yang utuh karena bagaimanapun masyarakat muslim adalah masyarakat yang padu, ia kemudian memperkuat arugemennya dengan mengutip dua hadits:Kamu melihat kaum mukminin di dalam saling mengasihi dan menyayangi. Seperti halnya tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka anggota tubuh lainnya turut demam dan tidak tidur.” (HR. Bukhari) dan “Seorang muslim merupakan saudara bagi muslim lainnya. Maka di tidak boleh menzhaliminya dan tidak meretakkan hubungan dengannya…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Melalui kegiatan belajar yang dilaluinya, anak diharapkan mampu melakukan proses sosialisasi guna mendapatkan keterampilan sosial seperti yang diharapkan oleh orang tua dan masyarakat. Gordon & Browne sebagaimana yang dikutip Moeslichatoen mengungkapkan 4 kelompok pengembangan keterampilan sosial yang perlu diajarkan pada anak di taman kanak-kanak.
1.    Membina hubungan dengan orang dewasa.
Orang dewasa diharapkan mampu membantu anak menyelesaikan masalah sesuai dengan kebutuhan mereka dengan bermacam cara antara lain memberi contoh bagaimana anak melakukan aktivitas hariannya, menjaga anak agar tidak menyakiti dan disakiti anak lain, berterima kasih, menghormati guru dan lain-lain. Yang perlu ditekankan adalah pemberian bantuan sesuai dengan kebutuhan anak, Vigotsky dengan konsep scaffolding-nya menguraikan bagaimana pentingnya membina kemandirian anak dengan sedikit demi sedikit mengurangi bahkan menghilangkan bantuan terhadap anak agar anak tidak menjadi tergantung pada kehadiran orang dewasa. 
2.    Membina hubungan dengan anak lain
Anak belajar mempertahankan diri, menuntut hak dengan cara yang dapat diterima, menerima giliran, mengkomunikasikan keinginan, mengadakan negoisasi dengan cara yang dapat diterima kelompok, mempertahankan barang miliknya dan lain-lain.
3. Membina hubungan dengan kelompok
Dalam membina hubungan dengan kelompok anak belajar untuk dapat berperan serta, meningkatkan hubungan kelompok dan antarpribadi, mengenal identitas kelompok, anak juga belajar mengikuti jadwal dan pola kegiatan sehari-hari, beraadaptasi dengan rutinitas sekolah, menaati peraturan, menghargai hak, perasaan dan harta milik orang lain dan seterusnya.
4. Membina diri sebagai individu 
Dalam hal ini anak belajar bertanggungjawab untuk membantu diri sendiri, menjaga diri, berkomunikasi secara verbal dan nonverbal, mengolah dan mengekspresikan perasaannya.
Dewasa ini semakin banyak orang yang menyadari pentingnya kehidupan sosial bagi manusia, oleh karenanya semakin banyak pula strategi-strategi pembelajaran yang didasari dengan semangat kebersamaan, beberapa diantaranya adalah:
a. Bermain Sosial
Aktivitas bermain telah diyakini mengandung banyak manfaat bagi anak. Bermain dapat bermanfaat untuk perkembangan fisik, motorik kasar dan halus, emosi dan kepribadian, kognisi, keterampilan olahraga dan menari serta membantu perkembangan sosial, permainan berdasarkan kemampuan anak pun dibedakan dalam beberapa jenis di antaranya adalah bermain sosial. Bermain sosial melibatkan interaksi dua orang atau lebih, yang bertujuan sebagai sarana belajar dari anak lain, mengembangkan kemampuan anak untuk berkomunikasi, membuat anak lebih mudah bersosialisasi dan membantu anak mengembangkan persahabatan.
b.Coorperative Learning
Dalam strategi pembelajaran coorperative learning anak diposisikan belajar berpasang-pasangan atau berkelompok hal ini dimaksudkan agar anak lebih saling membantu dan mudah memahami pelajaran dengan diskusi yang dilakukan dalam kelompoknya atau dengan temannya.
            Kedua strategi tersebut menjadi bukti betapa mendidik dengan basis kebersamaan telah menjadi perhatian yang serius bagi para pakar pendidikan, dan tugas kita sebagai orang tua dan pendidikan adalah mewujudkan semangat kebersamaan dalam setiap praktek pendidikan agar terciptanya kematangan sosial dalam diri setiap anak didik kita.



F.   Kesimpulan
Berdasarkan hal tersebut perkembangan keterampilan sosial anak tidak timbul dengan sendirinya, keterlibatan orang tua, sekolah dan masyarakat sangat penting dalam proses pembentukannya


DAFTAR PUSTAKA

Dryden, Gordon. 2001. Revolusi Belajar (The Learning Revolution). Bandung: Kaifa.
Gergenhahn B.R & Matthew H Olson. 2008. Teori Belajar. Jakarta: Kencana.
Hurlock, Elizabeth B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Kostelnik, Marjorie J dkk. 1994. Developmentally Approprite Programs in Early Chilhood Education. USA: Acmilan Publishing Company.
Montessori Maria. 2008. The Absorbent Mind, Pikiran yang Mudah Menyerap. terj Daryitno. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santrock, Jhon W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Seefeldt, Carol dkk. 2010. Social Studies for the Preschool/Primary Child. New Jersey: Pearson.
Seefeldt, Carol & Barbara A Wasik . 2008. Pendidikan Anak Usia Dini: Menyiapkan Anak Usia Tiga, Empat dan Lima Tahun Masuk Sekolah. Jakarta: Indeks.






[1] Disusun oleh Elly Agustina, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Bengkulu Program Studi PAUD dipresentasikan tanggal 19 Desember 2014
[2] Carol Seefeldt, Seefeldt, Carol dkk. 2010. Social Studies for the Preschool/Primary Child. New Jersey: Pearson. h. 130-134.
[3] B.R Hergenhahn B.R & Matthew H Olson. 2008. Teori Belajar. Jakarta: Kencana. h. 387.
[4] Seefeldt, Ibid, h. 134-138.
[5] Elizabeth Hurlock. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga h. 256-257.
[7] Anik Wulandari, “Perbedaan Kematangan Sosial Anak Ditinjau dari Keikutsertaan Pendidikan Prasekolah (Playgroup)”, http://etd.eprints.ums.ac.id/4889/1/F100050094, dalam Google.co.id diakses tanggal 02 Maret 2010.

1 komentar:

  1. S1288poker adalah penyedia taruhan poker online dengan uang asli yang dapat dipercaya dan dapat di andalkan untuk memenuhi kebutuhan anda dalam bermain poker online menggunakan uang asli.
    Untuk dapat bermain poker di S1288poker,com sangat mudah, anda dapat melakukan deposit minimal Rp.10.000,- dengan keuntungan semaksimal mungkin.
    kelebihan lainnya adalah anda dapat bermain tanpa harus menghawatirkan adanya program atau penggunaan bot pada website S1288poker,com karena di S1288poker permainan player vs player. (PIN BBM : 7AC8D76B)

    BalasHapus